Miss Internet sebagai Pendidik Generasi Anti Hoax

http://www.persmaneraca.com/2017/05/miss-internet-sebagai-pendidik-generasi.html
Hoax
umumnya dikenal sebagai informasi yang direkayasa untuk menutupi informasi
sebenarnya. Hoax merupakan seni berbohong atau dusta yang sengaja disamarkan
sebagai kebenaran dengan cara memutarbalikkan fakta menggunakan informasi
meyakinkan tetapi tidak diverifikasi kebenarannya. Hal ini berbahaya, Karena
kebohongan yang diulang-ulang bisa dianggap menjadi kebenaran atau berita yang
kemudian dipercayai oleh publik. Dalam upaya menekan perkembangan dan
penyebaran berita berisi kebohongan atau sering disebut hoax, pemerintah
memerlukan peran generasi muda untuk ikut berpartisipasi mewujudkan media sosial
yang lebih baik. Media sosial bisa mengubah seseorang yang terlihat diam di
kehidupan nyata namun menjadi kasar dan tidak santun di dunia maya. Didasari
dari hal tersebut, Silvy Dhea Angesti yang merupakan Miss Internet Sumatera
Utara sekaligus generasi muda Indonesia berpastisipasi untuk melakukan kegiatan
edukasi tentang internet kepada masyarakat khususnya anak-anak sekolah.
Silvy telah melakukan kegiatan edukasi seputar internet
ke berbagai sekolah yang ada di kota Medan maupun luar kota Medan. Baru-baru
ini ia melakukan kegiatan edukasi internet di salah satu sekolah SMP yang ada
di kota Medan. Silvy mengajak para pelajar selaku pengguna internet aktif agar
menggunakan media sosial dan menyaring informasi secara baik dan benar. Ia juga
memberikan edukasi mengenai literasi media. Menurutnya, Literasi media khususnya
literasi media sosial akan memberi edukasi dan pemahaman kepada masyarakat
khususnya anak-anak dan remaja mengenai cara menggunakan media sosial ke arah
positif. Media yang merupakan pilar keempat demokrasi seharusnya bisa
memberikan kritik yang membangun. Namun berita hoax tidak dapat disebut
demokrasi karena berisi pesan fitnah dan pembohongan informasi.
Kemajuan
teknologi digital dengan tersedianya aplikasi perbincangan seperti Line dan What Apps serta media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Path, Youtube, membuat pengguna
nyaman berselancar di dunia maya. Namun bak dua sisi pada sekeping mata uang,
hal ini juga diikuti dengan rasa ketidaknyamanan lantaran banjir informasi pada
para pengguna internet. Membanjirnya informasi tersebut dapat merusak
konsentrasi para pengguna internet untuk memilah mana berita yang baik dan
benar.
“Kita
sebagai pengguna internet aktif harus bisa memilah apakah berita-berita
tersebut faktual atau hoax. Ini harus kita antisipasi bersama karena akan
menuju suatu perpecahan konflik dan provokasi yang nantinya akan semakin besar
bila kita tidak mencegahnya sedini mungkin. Berita yang lewat media sosial,
lewat berbagai akses pemberitaan dengan teknologi yang canggih ini terlalu
cepat perputarannya sehingga belum sempat kita menelaah atau bisa mengkonfirmasi
apakah berita itu faktul atau memang sifat pemberitaannya memang hoax”
tuturnya.
Mengutip
data pengguna internet di Indonesia menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), yakni mencapai 132 juta dan 100 juta lebih
menggunakan ponsel pintar. Survey lain juga mengatakan bahwa kini dengan adanya
pemberitaan hoax di berbagai media sosial dan lain sebagainya, peminat untuk
mengikuti berita-berita hoax lebih banyak presentasenya daripada yang mengikuti
pemberitaan yang faktual. Artinya, masalah ini akan terus menyebar luas.
Silvy
menjelaskan bahwa Hoax yang disengaja bertujuan membuat masyarakat merasa tidak
aman, tidak nyaman, dan kebingungan. “Dalam kebingungan, masyarakat akan
mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan salah langkah. Generasi
milineal adalah generasi yang paling rentan terhadap berita palsu atau hoax
sebab pola pikir mereka terbilang masih labil, “mereka yang memiliki pola pikir
kurang kritis, akan menyebarkan berita paling menarik dan sesuai dengan
kecenderungan ideologinya, walaupun keakuratannya dipertanyakan”.
Silvy
juga mengutarakan bahwa apabila seseorang membuat atau menyebarkan informasi
yang tidak benar, mengandung ujaran kebencian, menyinggung SARA, maka bisa
terjerat UU ITE. Ancaman hukuman penjara selama 4 tahun dan denda maksimal 700
juta, berlaku bagi orang yang menyebarkan atau men share berita hoax tersebut. Silvy berharap agar pengguna aktif
internet khususnya generasi muda Indonesia dapat memilah dan memilih konten
media secara kritis sehingga memanfaatkan media sesuai dengan kebutuhannya. (Pijar)